Normal Baru dan Pertaruhan Identitas Pesantren
Normal Baru dan Pertaruhan Identitas Pesantren
Anton Prasetyo M.Sos
PONDOK pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang terdampak corona virus disease2019 (Covid-19). New normal tidak serta-merta dapat diterapkan di lembaga pendidikan tertua ini. Pasalnya, goalyang ingin dicapai oleh pesantren tak sekadar transfer of know
ledge. Namun pendidikan yang seutuhnya (kolaborasi afektif, kognitif, dan psikomotorik).
Para santri dididik untuk selalu mengamalkan ilmu yang didapat. Salah satu prinsip yang terus ditanamkan dalam jiwa adalah al-’ilmu bila
‘amalin ka asy-syajari bila tsamrin (ilmu tanpa amal ibarat pohon tanpa buah). Bagi mereka, pantang berilmu tanpa amal atau sebaliknya beramal tanpa ilmu. Maka tidak mustahil ketika pesantren menerapkan pendidikan full day school yang sesungguhnya. Siang sekolah formal, malam mengaji dan belajar ibadah lain. Berhenti Covid-19 membuat semua berhenti. Pesantren yang identik dengan perkumpulan ( majlis ilmu) menjadi kosong. Kajian kitab secara sorogan (privat), klasikal, atau musyawarah tidak ada lagi. Pesantren hanya bisa melakukan
bandongan virtual selama bulan suci Ramadan. Kiai membacakan kitab, sementara para santri menyimak melalui media virtual.
Apabila pesantren hanya transfer of knowledge, maka bandongan (dan juga bisa dikembangkan dengan sorogan serta musyawarah) virtual bisa menjadi alternatif. Namun, cara ini tidak bisa untuk penanaman nilai. Sehingga ilmu bukan hanya di kepala namun juga diamalkan, tidak bisa dilakukan. Untuk mendapatkan lulusan yang bukan saja alim namun juga beramal, selama ini pesantren menempa para santri dengan segudang habitual positif. Dan semua ini bisa dilakukan tatkala kiai/ustadz satu lokasi dengan santri. Wacana normal baru menjadi kabar
gembira bagi pesantren. Meski praktik ini akan menimbulkan dua permasalahan utama. Pertama, santri dalam sebuah pesantren berasal dari beragam daerah,bahkan luar negeri. Artinya, saat para santri kembali ke pesantren, maka pesantren tersebut akan menjadi tempat berkumpulnya orang dari berbagai wilayah. Sementara, tidak semua pesantren memiliki kemampuan untuk mengikuti protokol kesehatan saat pandemi Covid-19. Namun demikian, dengan cara kooperatif menggandeng pemerintah dan tenaga medis, permasalahan ini kiranya bisa diselesaikan dengan baik. Kedua, dalam rangka menanamkan nilai, setiap santri memiliki pembimbing yang ditugaskan mendidik selama 24 jam dalam setiap harinya. Dalam praktiknya,kiai menunjuk seorang santri senior untuk menempati kamar sekaligus membimbing santri-santri junior. Dalam satu kamar yang berukuran kisaran 3 - 5 meter persegi bisa diisi 10 - 20 santri. Santri senior inilah yang menjadi perpanjangan
tangan kiai. Ia bertugas mengajak kepada para santri junior untuk selalu kontinu mengikuti pengajian, salat jemaah, kerja bakti, ataupun bersekolah formal.Dipertaruhkan Dalam era normal baru, kondisi ini harus tidak bisa lagi dipraktikkan. Artinya, pesantren mesti menyediakan ruangantambahan sehingga santri bisa menempati ruangan yang kapasitasnya standar dengan protokol kesehatan. Ketika para santri sudah mendapatkan ruang kamar yang sesuai dengan protokol kesehatan, pesantren juga mesti menyediakan pembimbing kamar sejumlah kamar yang ada. Di sini identitas pesantren dipertaruhkan. Di era normal baru, pesantren harus tetap menjalankan pendidikan seutuhnya. Pesantren
juga harus tetap menjaga jiwa mandiri yang selama ini dijunjung tinggi. Jangan sampai pesantren’mengemis’ kepada pemerintah, bahkan terhadap hak-hak yang sebagaimana umumnya dijemput bola oleh lembaga non-pesantren. Bagaimanapun, kepribadian ini akan berpengaruh terhadap lulusannya.Kaitannya dengan hak pesantren yang berpayung hukum pada UU No. 18 Tahun 2019, biarkan pemerintah yang memikirkan.
*) Anton Prasetyo M.Sos, Alumnus Magister komunikasi dan Penyiaran Islam dan Pondok Pesantren Nurul Ummah Yogyakarta, Pengurus Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PCNU Gunungkidul