DAKWAH SUNAN GUNUNG JATI MELALUI GAMELAN SEKATEN DI KOTA CIREBON JAWA BARAT (Kajian Filosofi dan Epistimologi)

DAKWAH SUNAN GUNUNG JATI MELALUI GAMELAN SEKATEN DI KOTA CIREBON JAWA BARAT (Kajian Filosofi danEpistimologi)

Fifi Novianty

Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu-satunya Wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan Tahun 1448 Masehi. Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain. Sedangkan Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda’im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad.

Sejak kecil Syarif sudah menonjol dalam pengetahuan agama, kecerdasan dan luasnya wawasan. Dan dia juga memiliki akhlak yang baik. Dia belajar ilmu agama di Makkah, Baghdad, Gujarat dan Palestina. Selain itu dia juga belajar pada Sunan Ample di Pesantren Ample Denta dan di Pesantren Amparanjati berguru kepada Syaikh Datuk Kahfi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Nurjati.

Sebenarnya sebelum memutuskan menyiarkan agama Islam di pulau Jawa, Syaikh Syarif Hidayatullah ini telah ditunjuk sebagai penerus ayahnya di Mesir. Namun jiwa pembelajar dan keinginan kuat untuk menyampaikan ajaran agama sejauh yang bisa dijangkau, membuatnya menyerahkan jabatan itu kepada adiknya—Syarif Nurullah. Sedangkan dirinya sendiri memulai perjalanan untuk menuju pulau Jawa sekaligus tempat kelahiran ibundanya.

Maka di tahun 1470 Syarif Hidayatullah memulai perjalanannya. Dalam perjuangannya ini tantangan terbesar yang harus Sunan Gunung Jati tanggung adalah kenyataan kalau eyangnya sendiri belum memeluk Islam.Sebagaimana diketahui, munculnya Islam belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat.

Khususnya bagi orang-orang pedalaman dan kerajaan-kerjaan yang masih memegang teguh budaya Hindu-Budha. Oleh karena itu saat akan memulai dakwahnya dengan kerendahan hati, Sunan Gunung Jati menemui eyangnya yaitu Prabu Siliwangi untuk meminta izin.

Dalam menyebarkan agama Islam Sunan Gunung Jati memilih metode lemah lembut dan kekeluargaan. Kearifan budi dan akhlak itulah yang pada akhirnya membuat banyak masyarakat mulai mengikuti ajaran Sunan Gunung Jati. Cucu Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran (Sunan Gunung Jati) mengembangkan dakwah Islam dengan metode akulturasi budaya. Metode itu terbukti efektif membuka hi dayah umat menuju keimanan dan memeluk Islam secara sukarela dan damai. Dalam makalah ini saya akan membahas tentang “Dakwah Sunan Gunung Jati Melalui Kesenian Lokal di Kota Cirebon Jawa Barat” yang kajiannya mencakup kajian Epistimologi, Aksiologi dan Ontologi.

RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Metode apa yang digunakan Sunan Gunung Jati dalam Berdakwah di Kota Cirebon Jawa Barat?
  2. Bagaimana kaitan Filosofi dan Epistemologi dalam Dakwah Sunan Gunung Jati?

TUJUAN MASALAH

Dilihat dari Rumusan masalah yang dibuat, maka tujuan penulis adalah:

  1. Untuk mengetahui dan menjelaskan metode yang digunakan Sunan Gunung Jati dalam Berdakwah di Kota Cirebon Jawa Barat.
  2. Untuk mengetahui dan menjelaskan kaitannya Filosofi dan Epistemologi dalam Dakwah Sunan Gunung Jati.

PEMBAHASAN

  1. Proses dan Cara Penyebaran Islam Sunan Gunung Jati

Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak. Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Pada era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon.Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.[1]

Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya. Tugas mereka adalah menangkap Sunan Gunung Jati yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Sunan Gunung Jati. Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti : Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kesultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon.[2]

Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati menerapkan berbagai metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode dakwahnya menurut Dadan Wildan (2003) adalah sebagai berikut :

  1. Metode “maw’izhatul hasanah wa mujahadalah bilati hiya ahsan”. Dasar metode ini merujuk pada Al-qur’an surat An-Nahl ayat 125, yang artinya: “Seluruh manusia kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
  2. Metode “Al-Hikmah”sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang merupakan jalan kebijaksanaan yang diselanggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.
  3. Metode “Tadarruj”atau“Tarbiyatul Ummah”, dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.
  4. Metode pembentukan dan penanaman kader serta penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah yang sama sekali kosong dari pengaruh Islam.
  5. Metode kerjasama, dalam hal ini diadakan pembagian tugas masing-masing para wali dalam mengislamkan masyarakat tanah Jawa. Misalnya Sunan Gunung Jati bertugas menciptakan doa mantra untuk pengobatan lahir batin, menciptakan hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan, transmigrasi atau pembangunan masyarakat desa.
  6. Metode musyawarah, para Wali sering berjumpa dan bermusyawarah membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan tugas dan perjuangan mereka. Semetara dalam pemilihan wilayah dakwahnya tidaklah sembarangan dengan mempertimbangkan faktor geogstrategi yang sesuai dengan kondisi zamannya.

Sunan Gunung Jati sendiri dilingkungan masyarakatnya selain sebagai pendakwah, juga berperan sebagai politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai budayawan. Pemilihan Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan, demikian juga telah dipertimbangkan dari aspek sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya.[3]

  • Kesenian Lokal sebagai Media Dakwah Sunan Gunung Jati

Liputan6.com

Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati merupa kan sosok ulama besar dan pe nyebar agama Islam yang sa ngat berpengaruh. Dengan izin dan ridha Allah SWT, dia berhasil menyirami bumi Cirebon, Jawa dan nusantara de ngan iman tauhid ‘Laa Ilaha Illallah’. Dia melaksanakan tugasnya sebagai panatagama. Tugasnya itu dilaksanakan dengan da sar-dasar dogmatis dan rasional yang menopang kegiatannya. Antara lain ke teguhan iman dan sikap takwa yang murni dan ikhlas dalam berjuang untuk menyebarkan agama Allah.

Cucu Prabu Siliwangi dari Kerajaan Pajajaran (Sunan Gunung Jati) mengembangkan dakwah Islam dengan metode akulturasi budaya. Metode itu terbukti efektif membuka hi dayah umat menuju keimanan dan memeluk Islam secara sukarela dan damai.

“Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam tidak menggunakan budaya Arab, tapi menggunakan adat dan budaya lokal melalui kesenian daerah. Hasilnya, Sunan Gunung Jati mampu meng- Islamkan Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta secara damai, tanpa ada pe perangan,” kata Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat.

Salah satu contohnya adalah di guna kannya gamelan sekaten sebagai media penyebaran Islam kepada masyarakat. Sunan Gunung Jati biasa menabuh gamelan sekaten itu pada waktu ada keramaian, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.

Masyarakat yang menyaksikan penabuhan gamelan tersebut diharus kan membayarnya. Namun, pembayar an tersebut tidak dengan uang, melain kan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena itulah, gamelan itu disebut gamelan sekaten, yang berasal dari kata syahadatain (dua kalimat syahadat).

Untuk menyokong syiar Islam, pada sekitar 1480 M, atas prakarsa Nyi Ratu Pa kungwati, Sunan Gunung Jati dan Wali Sanga lainnya juga membangun Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Hingga saat ini, bangunan tersebut masih ber diri sesuai dengan aslinya. Tak hanya sebagai seorang ulama, Sunan Gunung Jati yang lahir sekitar 1448 M itu juga menjadi seorang raja, pemimpin negara hingga mendapat gelar “Ingkang Sinuhun Kanjeng Susun an Jati Purba Wisesa, Panetep Panata Gama Aulia Allahu Khalifatur Rosu lillahi Salallahualaihiwasalam”.

Di Keraton Kesepuhan Cirebon, merayakan Lebaran dengan mendengarkan alunan musik Gamelan Sekaten yang ada di area Siti Inggil Keraton Kasepuhan Cirebon, hal ini menandai bahwa umat Muslim Cirebon merayakan hari Kemenangan. Gamelan tersebut dinamakan Gamelan Sekaten yang selalu ditabuh setiap Idul Fitri dan Idul Adha.

Gamelan dibunyikan setelah Sultan Keraton Kasepuhan keluar dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Di keraton Kasepuhan Cirebon sendiri, memiliki banyak macam Gamelan, namun Gamelan Sekaten adalah gamelan sakral dan bersejarah, karena Gamelan Sekaten menjadi media berdakwah Sunan Gunung Jati di Cirebon, dan Gamelan ini hanya akan di keluarkan (ditabuh) pada saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Dalam menjalankan roda pemerintahannya, Sunan Gunung Jati selalu mengutamakan langkah yang ber man faat dan selalu menghindari langkah yang mudharat. Kepentingan umum dan rakyat kecil selalu didahulukan dibandingkan kepentingan pribadi dan ke luarganya. Sunan Gunung Jati juga selalu menjunjung tinggi nilai – nilai keadilan dan universalisme di dalam masyarakat. Kedamaian dan ketentraman rakyatpun selalu mendapatkan prioritas utama dalam masa pemerintahannya.

Informazone.com

Ada beberapa langkah atau nilai nilai yang pernah dijalankan oleh Sunan Gunung Jati ketika beliau memerintah sebagai seorang raja maupun seorang ulama, yakni:

  1. Menjaga Silaturahmi.Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan Islam menanamkan untuk menjaga silaturahmi dengan cara mempererat pernikahan antarsuku.
  2. Pemberdayaan SDM.Pemberdayaan SDM dengan cara memberikan praktik membuat kerajinan, yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Sunan Gunung Jati juga meningkatkan Kepemimpinan masyarakat dengan berlandaskan kasih sayang dan penuh pengertian.
  3. Sunan Gunung Jati Mengubah Pajak Menjadi (Zakat/Infaq/Sodaqoh).Kebijakan Sunan Kalijaga untuk menghentikan pengiriman garam dan terasi sebagai upeti ke Pajajaran juga diterapkan di Cirebon.
  • Kaitan Filosofi dan Epistemologi
  • Kaitan Filosofi dengan Dakwah Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati memiliki cara tersendiri untuk menyebarkan ajaran Islam. Yaitu menggunakan kebudayaan lokal Gamelan Sekaten. Filosofi gamelan sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Dinamakan Gamelan Sekaten, karena Sunan Gunung Jati membuat aturan bagi masyarakat yang ingin melihat pertunjukan gamelan sekaten harus membaca dua kalimat syahadat (masuk Islam). Dan hingga kini Gamelan Sekaten terus dilestarikan oleh Keraton Kasepuhan Cirebon, gamelan akan dibunyikan setiap setelah sholat Idul Fitri dan Idul Adha, ini menyimbolkan untuk menyambut datangnya Hari Raya bagi umat Muslim.

Pendekatan melalui gamelan sekaten dilakukan untuk memenuhi unsur syariah bahwa tidak boleh memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam dan yang diperbolehkan adalah mengajarkan perihal keislaman kepada mereka. Sesuai dengan keterangan dalam QS. Al-Baqarah:256 yang artinya “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Sungguh telah jelas antara kebenaran dan kesesatan. (QS. Al-Baqarah: 256)

Filosofi nama Sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Oleh karena itu setiap masyarakat yang ingin melihat tabuhan gamelan sekaten ini di wajibkan mengucap dua kalimat syahadat.

  1. Filosofi dari Masing-Masing Gending (lagu-lagu instrumental):
  2. Kesembilan alat musik Gamelan kuno itu terbuat dari bahan logam dan perunggu.
  3. Terdiri dari 2 rangkaian bonang sebanyak 14 buah, bedug, kendang, kebluk, gong, dua buah saron, dan serangkaian jengglong.
  4. 12 NAGAYA (Orang yang memainkan gamelan) = Kenapa 12 orang? Karena memiliki Filosofi yang melambangkan tanggal kelahiran Rosulullah.
  5. Tiga buah Gending kuno yang sering dimainkan para Nayaga memiliki arti masing-masing:

1.Gending Kodok Ngorek: Dilantunkan untuk memanggil hujan ketika musim kemarau. Gending Kodok Ngorek di ambil dari kata Kodok Ngorek, yang mana memiliki filosofi bahwa hewan kodok ketika musim hujan akan berbunyi “ngorek”, maka untuk memanggil hujan di musim kemarau di tabuhlah gamelan dengan Gending Kodok Ngorek, agar datang hujan.

2.Gending Sekaten :Digunakan untuk mengiringi masyarakat yang ingin masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Gending Sekaten diambil dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Orang yang ingin mendengar gamelan sekaten di haruskan membaca dua kalimat syahadat. Gending sekaten ditabuh untuk mengiringi masyarakat yang ingin masuk Islam.

3.Gending Bango Butak :Sebagai gending penghibur bagi masyarakat yang telah masuk Islam. Bango butak adalah lagu terakhir atau penutup. Istilah Bango Butak sendiri memiliki makna sebuah lagu terakhir atau penutup. Dalam Babad Cirebon, Bango adalah nama seorang petapa suci Buda Parwa. Sementara lagu Bango Butak sebagai lagu penutup ketika pusaka-pusaka termasuk didalamnya piring panjang pemberian Sanghyang bango itu dikembalikan ke dalam gedung jimat.

b. Filosofi Gending Sekaten :

  1. Yaumi : Yaumi berasal dari B. Arab yaitu Yaum yang artinya hari, masa, waktu, periode atau ketika. Yaumi dalam Gending sekaten melambangkan hari Maulid Nabi Muhammad SAW.
  2. Salatun : Salatun berasal dari B.Arab yang artinya beribadah. Salatun dalam gending sekaten melambangkan Kemauan berdoa atau menyembah Tuhan.
  3. Ngayatun : Ngayatun berasal dari B.Arab yang artinya hayat atau kehidupan. Ngayatun dalam gending sekaten melambangkan kemauan atau kekuatan hati untuk masuk Islam. Artinya gending ini memiliki kekuatan yang kuat dalam kehidupan sesorang untuk masuk Islam.
  4. Supiyatun : Melambangkan Kesucian Hati. Sufiyatun adalah gending Sufi, yang dinikmati oleh para Sufi/wali untuk Majnun Billahi kepada Allah SWT.

Jika Gending Ngayatun dan Supiyatun digabungkan akan memiliki makna Kemauan kuat untuk mencapai Kesucian Hati.

  • Hal-Hal yang Harus di Hindari Saat Penabuhan Gamelan Sekaten

Agar acara penabuhan gamelan sekaten dapat berlangsung dengan selamat tak kurang suatu apapun, dan agar semua yang terlibat di dalam penyelenggaranya tidak mengalami aral, maka orang perlu memperhatikan pantangan-pantangan yang berhubungan dengan acara penabuhan sekaten antara lain :

  1. Para Abdi dalam nagaya (penabuh gamelan), selama menjalankan tugasnya memukul gamelan pusaka atau gamelan sekaten itu, pantang melakukan hal-hal tercela, misalnya mengucapkan umpat-maki. Karena selama proses penabuhan gamelan, nagaya harus menjaga tutur kata atau ucapannya tidak boleh mengucapkan kata-kata tercela atau empat-maki.
  2. Para abdi dalem nagaya pantang melompati gamelan pusaka.
  3. Para abdi dalem nagaya berpantang memukul gamelan sekaten, sebelum menyucikan diri dengan berpuasa, dan mandi jamas.
  4. Para abdi dalem nagaya pantang menyembunyikan gamelan sekaten pada malam jum’at dan hari jum’at siang sebelum lewat waktu sholat duhur.
  5. Kaitan Epistemologi dengan Dakwah Sunan Gunung Jati

(Bakhtiar, 2012:148) Epistemologi atau Teori Pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.

Dalam dakwahnya Sunan Gunung Jati menyebarkan agama Islam di Cirebon menggunakan kesenian lokal yaitu Gamelan Kesakaten. Dengan izin dan ridha Allah SWT, dia berhasil menyirami bumi Cirebon dengan iman tauhid ‘Laa Ilaha Illallah’. Dia melaksanakan tugasnya sebagai panatagama. Tugasnya itu dilaksanakan dengan dasar-dasar dogmatis dan rasional yang menopang kegiatannya. Antara lain ke teguhan iman dan sikap takwa yang murni dan ikhlas dalam berjuang untuk menyebarkan agama Allah.

Untuk melihat Gamelan Sekaten masyarakat tidak dipungut biaya, Sunan Gunung Jati hanya meminta masyarakat yang ingin melihat membaca dua kalimat Syahadat. Dari situlah banyak masyarakat yang mulai masuk Islam melalui media Kesenian Gamelan Sekaten. Hakikat dari dari nilai-nilai seni yang dibawa oleh Sunan Kali Jaga berhasil untuk menyebarkan agama Islam di Cirebon, dengan menanamkan nilai-nilai kebudayaan lokal Sunan Gunung Jati berharap islamisasinya akan tersebar luas dan selalu menjadi panutan bagi masyarakat Cirebon. Terbukti melalui Gamelan Sekaten tersebut, hingga saat ini Gamelan tersebut masih menjadi tradisi sakral Keraton di Cirebon ketika Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

  • Eksistensi Gamelan Sekaten Di Masa Sekarang

Gamelan sekaten sebagai peninggalan media dakwah Sunan Gunung Jati masih dipertahankan hingga saaat ini. Gamelan pusaka ini di letakan di dalam Keraton Kasepuhan Cirebon. Biasanya Gamelan sekaten ini masih di tabuh pada hari hari besar seperti Hari raya idul fitri, Hari Raya idul adha, Maulid Nabi Muhammad, dan sebagai iringan penghormatan tamu kehormatan. Masyarakat akan beramai-ramai menonton tabuhan gamelan sekaten setelah pelaksanaan sholat i’d selesai. Dan juga setelah sultan Kasepuhan selesai melaksanakan sholat di masjid Agung Sag Cipta Rasa kemudian setiba nya Sultan di Keraton baru lah gamelan sekaten di tabuh oleh Nagaya (orang yang menabuh gamelan).

Foto diambil dari Keraton Kasepuhan Cirebon

KESIMPULAN

Sunan Gunung Jati sebagai Sosok penyebar agama Islam, intelektual dan muballig yang lebih memilih dakwah syiar Islam bagi masyarakatnya melalui kesenian lokal yaitu Gamelan Sekaten. Sunan Gunung Jati telah menanamkan suatu peradaban moral dan teologis bagi muslim Indonesia terutama di Cirebon. Karena itu, bukti kejayaannya dapat ditemukan melalui kesenian Gamelan Sekaten yang mememiliki banyak filosofi salah satunya adalah berasal dari dua kalimat syahadat atau syahadataiin oleh karena itu dinamakan Gamelan Sekaten. Yang hingga saat ini Gamelan tersebut masih digunakan untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Cirebon dan Gamelan Sekaten berada di Keraton Kasepuhan Cirebon.

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2010.Filsafat Ilmu (Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan).Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR

Bakhtiar, Amsal. 2012.Filsafat Ilmu.Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Dadang Kurnia,Metode Dakwah Sunan gunung Jati (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Antropologi Pendidikan), Jurnal Pendidikan Dasar Volume : V- Nomor : 7-April 2007

Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha (edit.). 2003.Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka

Edi S. Ekajati. 1992.Sejarah Lokal Jawa Barat.Jakarta: Interumas Sejahtera

Prayitno, Panji. 2016.Gamelan Sekaten Tradisi Unik Cirebon Merayakan Lebaran.https://www.liputan6.com/ramadan/read/2549598/gamelan-sekaten-tradisi-unik-cirebon-merayakan-lebaran. Diakses pada 25/10/19 pukul 20.45 WIB

Urrohman, Aulia.Peran Sunan Gunung Jati Dalam Proses Penyebaran Islam Di Jawa.http://www.akademia.edu.com. Diakses pada 25/10/19, pukul 19.10 WIB

Hasjim Nafron, Suwanda, dkk. 1994.Wawacan Sunan Gunung Jati.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan


[1]Mastuki HS, dan M. Ishom El-Saha (edit.),Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di era Pertumbuhan Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003), h. 21-34

[2]Edi S. Ekajati,Sejarah Lokal Jawa Barat,(Jakarta: Interumas Sejahtera, 1992), h. 32.

[3]Dadang Kurnia,Metode Dakwah Sunan gunung Jati (Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Antropologi Pendidikan), Jurnal Pendidikan Dasar Volume : V- Nomor : 7-April 2007.