Kurban Bukan Penegas Perbedaan Strata Sosial
Kurban Bukan Penegas Perbedaan Strata Sosial
BEBERAPA tahun terakhir ada kecenderungan, shohibul qurban (orang yang berkurban) dianggap - untuk tidak mengatakan ‘menganggap’- dirinya adalah orang yang memiliki tingkatan kedudukan lebih tinggi dibandingkan masyarakat yang diberi daging kurban. Bahkan, besar kecilnya hewan yang dikurbankan juga menjadi penanda tingkatan strata antara shohibul qurban satu dengan yang lain. Alhasil, para shohibul qurban berlomba-lomba mengurbankan hewan yang paling besar dengan harga tinggi dalam rangka menahbiskan diri sebagai orang yang memiliki kedudukan tinggi di mata masyarakat.
Dalam tinjauan agama, fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) merupakan perintah yang mesti dijalankan. Segendang sepenarian dengan realita yang terjadi di lapangan, umat muslim berlomba-lomba mengurbankan hewan ternak, bahkan memilih yang terbesar dengan harga tinggi, merupakan hal yang membanggakan. Apalagi kabar baik selalu hadir pada setiap Idul Adha, di mana masyarakat miskin selalu mendapatkan bagian daging kurban dengan jumlah yang lebih dari cukup untuk sekadar lauk-pauk keluarga dalam dua sampai tiga hari.
Pendistribusian rezeki berupa daging hewan kurban kepada mustahiq (orang yang berhak) menerima daging sejatinya menjadi teladan akan persamaan hak dalam memanfaatkan rezeki antara satu orang dengan yang lainnya. Bagi orang yang kaya, mereka bisa menikmati rezeki yang sudah jelas-jelas berada di tangannya. Bagi orang miskin, mereka bisa makan dengan hati nyaman atas uluran tangan orangorang kaya di sekitarnya. Harmoni kemasyarakatan ini sangat terasa indah manakala didasari rasa kemanusiaan dan takwa kepada Allah SWT.
Dalam tinjauan psikologis, orang-orang yang menganggap dirinya lebih unggul dibandingkan orang lain secara berlebihan semacam ini dinamakan narsistik. Dampak negatifnya adalah merendahkan orang lain, terkikisnya rasa empati terhadap sesama serta menempatkan diri sebagai orang yang selalu benar padahal nyatanya dirinya salah. Ia merasa dirinya unggul, namun sebenarnya perasaan itu dibangun dari sebuah premis yang keliru.
Para shohibul yang memiliki kecenderungan narsis pada dasarnya orang-orang yang memperdaya ajaran agama agar dirinya bisa menyakiti perasaan orang miskin di sekitarnya. Sekilas, ia memberikan daging kurban, namun pada kenyataannya ia hanya mengolok-olok orang lain memiliki derajat lebih rendah dari dirinya. Para shohibul semacam ini akan mengurangi harta yang dimiliki hanya pada saatsaat ia mendapatkan keuntungan pribadi secara langsung. Dalam berkurban, sekilas ia tidak mendapatkan keuntungan materi, namun ia berharap mendapatkan keuntungan non-materi, yakni pengakuan masyarakat akan kekayaan, kesalihan serta kedermawanan (semu)nya.
Berbeda kasusnya manakala para shohibul yang narsis ini suatu saat mendapati tetangga yang memerlukan bantuan karena kelaparan atau tergolek sakit tanpa ada dana untuk berobat. Karena ia merasa tidak mendapatkan keuntungan nyata, ia tidak berusaha melepaskan penderitaan orang lain di sekitarnya. Bahkan, ketika seseorang yang menderita tadi meminta pertolongan, semisal meminjam uang untuk berobat, bisa jadi ia justru mendapatkan perkataan kasar yang tidak mengenakkan.
Bermula dari sinilah, dalam menjalankan ibadah kurban, para shohibul qurban harus menata niatan dengan baik. Niatkanlah mengurbankan hewan ternak yang terbaik hanya karena Allah dan rasa empati kepada sesama umat manusia. Tanpa adanya kedua niatan ini, kurban yang dilakukan tidak akan memberi manfaat apa pun kecuali para tetangga bisa makan daging selama dua atau tiga hari.
Betapa pentingnya landasan takwa dalam berkurban, jauh hari sebelum disyariatkannya ibadah kurban tahunan sebagaimana saat ini, Islam sudah mengisahkan pada zaman Nabi Adam hanya kurban Habil yang diterima Allah SWT. Di Alquran, Allah SWT mengisahkan, ‘Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, ‘Aku pasti membunuhmu.’ Berkata Habil, ‘Sesungguhnya, Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.’ (QS. al-Maaidah: 27).
Sungguh, sangat disayangkan ketika para shohibul qurban berlomba-lomba mengurbankan hewan terbaik tidak berlandaskan ketakwaan kepada Allah. Mereka tidak mendapatkan pahala besar dari Allah SWT. Mereka harus meluruskan niat, berkurban untuk beribadah kepada Allah SWT sekaligus memupuk rasa empati kepada sesama. Dengan begitu, ibadah kurban yang dilaksanakan akan memiliki bobot nilai yang begitu tinggi. Wallahu aklam.
(Anton Prasetyo SSos I. Pemerhati Sosial, Studi Pascasarjana KPI UIN Yogyakarta).